Slideshow

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 15 Mei 2017

PERADILAN AGAMA DARI MASA KE MASA

(Lanjutan : Peradilan Agama Versi Fiqih Sunnah)
C. 1. Awal Berdirinya Peradilan Agama
Pada masa VOC berdomisili di bumi nusantara hukum Islam tetap berlaku, dimana masyarakat bangsa Indonesia masih diberikan suatu kebebasan dalam melaksanakan hukum Islam dengan seluas-luasnya selama tidak dianggap mengganggu kepentingan-kepentingan VOC di Indonesia. Bangsa penjajah VOC pernah akan memberlakukan hukum Belanda di Indonesia guna memperlancar hubungan mereka dalam perniagaan dengan Negara-negara lain, kemudian gagal total karena mendapat reaksi sangat keras dari kelompok masyarakat umat Islam, kejadian tersebut menjadikan rasa enggan mereka untuk ikut campur terhadap hukum Islam, bahkan VOC kemudian menjadi alternative lain, yaitu dengan membentuk peradilan untuk banga pribumi dengan cara memberlakukan hukum Islam di setiap peradilan orang-orang pribumi dan mengumpulkan materi-materi sebagai hukum Islam. Hal tersebut kemudian tertuang dalam sebuah resolusi (der indische regering)
(Topik Utama Unisia, 1992: 7).
Peraturan resmi yang mengatur eksistensi Peradilan Agama di Bumi Nusantara ini adalah Keputusan Raja Belanda No. 24 tertanggal 19 Januari 1882, dimuat dalam Stb. 1882 No. 152 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura (Berpaling betrefende de priesterranden op java en Madoera). Para pakar hukum sependapat, bahwa lahirnya keputusan Raja tersebut adalah merupakan hasil dari teori “Receptio in Complexu” oleh Van Den Berg.
Kemudian teori itu digugat oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje, dan menggantikannya dengan teori “Receptie”, menurut keduanya teori Receptio in Complexu adalah merupakan suatu kesalahan besar pemerintah Hindia Belanda. Pengadilan Agama diberi keluasaan memberlakukan hokum Islam secara keseluruhannya adalah keliru. Yang benar adalah Hukum Islam baru dapat diterima apabila telah diakui oleh Hukum Adat mereka.
Penyebaran agama Islam dengan perantara para Da’I (Ulama), kemudian mendapat sambutan dengan baik dan senang hati di kalangan masyarakat yang memungkinkan berkembangnya Agama Islam dengan pesat sekali sampai ke pelosok bumi nusantara dan kemudian memperoleh bentuk-bentuk yang sangat positif di tengeh-tengah masyarakat Islam tersebut. Sebuah peradilan yang merupakan alat kelengkapan bagi umat Islam dalam melaksanakan Hukum Islam, Peradilan Agama Islam dikhususkan bagi masyarakat yang beragama Islam di Indonesia, sebagai alat kelengkapan pelaksanaan Hukum Islam itu sendiri.
Maka Peradilan Agama ini tumbuh dan berkembang di bumi nusantara yang kemudian disambut dengan senang dan baik oleh masyarakat penduduk Indonesia. Walaupun disadari sepenuhnya bahwa Peradilan Agama khususnya dan Ilmu Pengetahuan Hukum Islam pada umumnya belum pernah berkembang secara menyolok di Indonesia apabila dibandingkan dengan Negara-negara yang lainnya terutama sekali yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun demikian konsepsi-konsepsi Hukum Islam telah menyumbangkan suatu potensi pemikiran yang sangat baik bagi perkembangan dan pembinaan Hukum Islam.
Seorang orientalis berkebangsaan Belanda yamg bernama Snouck Hurgronje, kemudian mengkritik dengan menyatakan bahwa sebenarnya para pejabat colonial Belanda masih sangat kurang sekali akan pengertiannya tentang Agama Islam di Indonesia dan keberadaannya. Dengan kedatangan Snouck Hurgronje tersebut membawa akibat yang tidak diinginkan oleh masyarakat yang beragama Islam khususnya, dampak yang terlihat antara lain adalah kehidupan beragama yang di dalamnya termasuk lembaga-lembaga pendidikan, lembaga peradilan, dan lain-lain.
Lembaga-lembaga keagamaan (peradilan) tidak dapat bergerak secara leluasa disebabkan di dalamnya telah dicampuri oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1882 Lembaga Peradilan Agama oleh pemerintah Hindia Belanda diresmikan (Bahder Johan Nasution, 1992: 2-3).
Maka proses pembentukan suatu Lembaga Peradilan sendiri menurut hukum ditentukan yang pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
  1. Tahap tauliyah dari Imam, yaitu pada dasarnya peradilan atas perlimpahan dari wewenang kepala Negara atau orang-orang yang ditugaskan olehnya, dengan catatan orang tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu.
  2. Tahap kedua adalah tauliyah oleh Ahlul Hilmi Wal ‘Aqdi apabila tidak ada seorang Imam, maka penyerahan suatu wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh Ahlul Hilmi Wal ‘Aqdi, adalah [para sesepuh dan ninik mamak dengan adanya suatu kesepakatan bersama.
  3. Tahap Tahkim, dalam keadaan tertentu terutama sekali apabila tidak ada Hakim di suatu wilayah tertentu pula, maka apabila dua orang yang bersengketa dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap telah memenuhi suatu persyaratan. Tahkim dapat berlaku apabila kedua pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan menyepakati (mentaati) keputusannya nanti dan juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had dan ta’zir (Ditbinbapera Depag, 1985: 7-8).
Bahwa terjadinya qodlo Asy-Syar’I di Indonesia sudah terjadi pada masa-masa periode Tahkim yaitu pada awal masuknya Islam ke bumi nusantara ini dimana kondisi masyarakat belum mengetahui banyak masalah-masalah hokum Islam, sedangkan Lembag Peradilan Agama terbentuk dalam periode Tauliyah Ahlul Halli Wal’Aqdi. Keadaan yang demikian ini nampak pada masa kerajaan Islam di nuantara dengan bentuk-bentuk lembaga peradilan yang memberlakukan Hukum Islam yang pelaksanaannya di serambi-serambi masjid oleh hakim-hakim yang menjalankan Hukum Islam terhadap perkara-perkara perdata, perkawinan, dan kekeluargaan. Sehingga pada saat itu penampungan perkara perdata sudah ada tempatnya yang menentu dan pasti (Ditbinbapera Depag, 1985: 8).
Peradilan dan lembaga peradilan pada masa itu masih sangat sederhana, demikian juga para pegawainya biasanya diangkat oleh para pejabat setempat. Pengadilan Agama yang diselenggarakan oleh para pejabat (penghulu) yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat dan begitu pula dengan siding-sidang yang berlangsung di serambi masjid (Daniel S. Lev, 1980: 23-32).
Sejak pada pengadilan serambi masjid tersebut belum ada, muncul pengadilan yang secara resmi menangani urusan perdata, pengadilan lain belum ada yang muncul yang menangani dan melayani rakyat di Jawa. Baru kemudian Pengadilan Agama berada dan muncul di bawah pengadilan colonial yaitu “landraad”. Hanya landraat inilah yang berwenanguntuk memerintahkan suatu pelaksanaanbagi keputusan Pengadilan Agama dalam bentuk “Executoir Verklaring”.
Di sini Pengadilan Agama, sangat terbatas kewenangannya terutama hak menyita barang milik yang berperkara tersebut tidak ada (hak menyita barang atau lainnya di sini hilang). Padahal Pengadilan Agama merupakan salah satu pengadilan bagi golongan orang Jawa di dalam salah satu bidang hokum perorangan (Ahmad Azhar Basyir, 1992: 9-11).
Fakta dari suatu badan lembaga-lembaga hokum tersebut sudah ada dalam pelbagai bentuk dan kualitasnya, yang berada di bawah tekanan-tekanan suatu proses adaptasi. Kemudian ternyata banyak orang yang ingin menghindarkan diri dari landraad dan tetap menginginkan dan menggunakan lembaga Peradilan Agama, yang mana rakyat sudah menganggap sebagai lembaga yang sah dan dapat diterima (Ahamad Azhar Basyir, 1992: 11).
Setelah masa proklamasi kemerdekaan Indonesia dan berdasarkan pada pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur keberadaan (eksistensi) Peradilan Agama tersebut tetap berlaku. Kemudian langkah yang diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia sepanjang yang menyangkut tentang keagamaan, dibentuklah Departemen Agama pada tanggal 3 Januari 1946. Dan setelah terbentuknya Departemen Agama, maka segala perkara yang berkaitan dengan urusan keagamaan diserahkan dari Departemen Kehakiman ke Departemen Agama, karena hal itu memang menjadi hak dan wewenang departemen ini.
Perkembangan selanjutnya Menteri Agama yang menetapkan tentang formasi pegawai pada Pengadilan Agama terpisah dari Kantor Urusan Agama (KUA) tingkat kabupaten, yang kemudian pada akhirnya muncul dengan istilah Pengadilan Agama (Bahder Johan Nasution, 1992: 4-6).
Kemudian secara perlahan bangsa Indonesia sadar untuk menghilangkan dan membuang jauh politik colonial Belanda, hal tersebut diperlihatkan oleh suatu tonggak sejarah, yaitu:
  1. Pada tahun 1951, dengan Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951, LN 1951-9, yang kemudian dikuatkan menjadi Undang-undang N0.1 Tahun 1961, LN 1961-3, Peradilan Agama diakui eksistensi dan peranannya.
  2. Pada tahun 1957, dengan PP No.45 tahun 1957, LN 1957-99, yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang No.1 Tahun 1951, didirikan atau dibentuk Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura.
  3. Pada tahun 1964, dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1964, LN 1964-107, yang kemudian digantikan dengan Undang-undang No.14 Tahun 1970-74, Peradilan Agama diakui sebagai salah satu dari empat lingkungan Peradilan Negara yang sah.
  4. Pada tahun 1974 terbit Undang-undang No.1 Tahun 1974, LN 1975-12, dimana segala jenis pwerkara dibidang perkawinan bagi mereka yang beragama Islam dipercayakan kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikannya.
  5. Pada tahun 1977 terbit PP No. 28 Tahun 1977, LN 1977-38 yang memberikan kekuasaan kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikan perkara, bidang perwakafan Tanah Milik (Roihan A Rasyid, 1991: 1-3).
Para pakar hukum dan sejarah telah sepakat bahwa Peradilan Agama keberadaannya di Indonesia secara yuridis diakui sebagai lembaga Peradilan dan masuk dalam tata hokum Hindia Belanda dengan dikeluarkannya surat keputusan Raja Belanda No.24 tertanggal 19 Januari 1882, dengan Staatsblaad 1882 No. 152 yakni tentang pembentukan Peradilan Agama di daerah Jawa dan Madura dalam bahasa Belanda “bepalingbetraffenda priesterande op Java en Madura”. Kemudian mulai saat inilah Peradilan Agama di Indonesia terus diperhatikan dan diikuti terus akan perkembangannya oleh pemerintah Hindia Belanda. Bahkan hingga Indonesia merdeka terus diupayakan birokrasi-birokrasi terhadap Peradilan Agama di Indonesia. Perbedaan penapat tentang penetapan awal sejarah Peradilan Agama ini, oleh Daniel S. Lev dinilai bahwa hal tersebut disebabkan oleh adanya situasi para cendikiawan muslim dan kaum cerdik pandai menganggap remeh terhadap sejarah Islam, karena dianggap sebagai sisa-sisa masa lalu. Akibatnya Peradilan Agama yang memiliki sejarah yang cukup panjang terlewatkan oleh ilmu pengetahuan, penelitian terhadap Peradilan Agama di masa lalu ada sedikit yang terlewatkan (Daniel S. Lev, 1980: 11).
Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat mengakui bahwa Peradilan Agama di Indonesia sudah ada sejak Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke VII Masehi atau abad pertama hijriyah, hokum Islam berkembang bersama-sama dengan Hukum adat dengan erat sehingga satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan karena saling kait mengait. Adapun politik hukum Hindia Belanda yang berkembang kemudian adalah, adanya isu tentang terjadinya konflik antara hokum Islam dengan hokum adapt yang pada intinya konflik ini dengan sengaja dibesar-besarkan oleh para ahli hokum adat di Indonesia, seperti: B. Ter Haar, Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje (Mohammad Daud Ali, 1990: 204).
Keadaan yang demikian ini memberikan sesuatu kesan pada para sarjana dan ahli hukum adat, seolah-olah hukum Islam atau Peradilan Agama di Indonesia merupakan bentuk Peradilan yang pada intinya tidak dapat diterima oleh adat dan masyarakat Indonesia dan tidak bias menerima pluralisme hukum (Ditbinbapera, 1985: 3).
Sejarah perkembangan Peradilan Agama sejak zaman penjajahan colonial Belanda hingga sekarangdan tugas serta wewenangnya yang mengalami pasang surut, perkembangan Peradilan Agama mulai diperhatikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1808 dengan dikeluarkan instruksi dari VOC di mana kepada pendeta (Ulama) diperbolehkan memutus suatu perkara-perkara tertentu, yaitu: Perkawinan, Waris, Perceraian, Pembagian Harta Warisan berdasarkan hukum agama (Islam). Secara yuridis Peradilan Agama diakui oleh pemerintah Hindia Belanda dengan dikeluarkannya sebuah surat keputusan No. 24 tanggal 19 Januari Stb. 1882 No. 152 (Zaini Ahmad Noeh, dan Abdul Basit Adnan, 1983: 32-33).
Ada 7 (tujuh) buah pasal Stb. 1882 No. 152 tersebut yang menyangkut Peradilan Agama antara lain:
  1. Di samping tiap-tiap landraad (Pengadilan Negeri) diadakan Peradilan Agama, yang mempunyai daerah hukum yang sama;
  2. Pengadilan Agama terdiri atas penghulu yang diperbantukan pada landraad sebagai ketua dan sedikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 8 (delapan) ulama Islam sebagai anggota;
  3. Pengadilan Agama tidak boleh mengambil keputusan jika tidak ada sedikitnya 3 (tiga) orang anggota, termasuk ketuanya hadir, dalam keadaan perimbangan suara, maka ketua yang menentukan;
  4. Keputusan-keputusan Pengadilan Agama harus dinyatakan dalam surat yang memuat pertimbangan-pertimbangan dan alas an secara singkat serta ditandatangani oleh anggota-anggota yang hadir, begitu pula dicatat biaya perkara yang dibebankan kepada yang berperkara
  5. Kepada kedua belah pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang ditandatangani oleh ketua;
  6. Keputusan-keputusan Pengadilan Agama yang melampaui batas kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan ayat (2), (3), dan (4) di atas tidak dapat dinyatakan berlaku (Zaini Ahmad Noeh, dan Abdul Basit Adnan, 1983: 33).
Terhadap Stb. 1882 No. 152 ahli hukum bersepakat bahwa hal tersebut merupakan hasil tersebut merupakan hasil dari teori “Receptio In Complexu” oleh Van Den Berg. Keberadaan Peradilan Agama mulai digugat ketika lahirnya teori hukum adat oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje yang kemudian teori tersebut dikenal dengan sebutan “Receptietheori”, akibat dari teori tersebut kemudian pemerintah Hindia Belanda meninjau kembali Peradilan Agama di Indonesia. Stb. 1882 No. 152 dinyatakan sebagai suatu kesalahan dari pemerintah Hindia Belanda yang mengakui dan bahkan diberi landasan hukum bagi terbentuknya Peradilan Agama.
Stb. Tahun 1907 No. 204, Stb. 1919 yang mengandung inti di dalam kedua Stb. Tersebut adalah kata-kata “Memperlakukan Undang-undang Agama” kemudian diubah menjadi kata-kata yang lebih lazim “memperhatikan” (Noto Susanto, 1975: 5).
Dan Stb. terakhir Tahun 1937 dengan dikeluarkannya Stb. 1937 No. 638 jo. 639 mengenai dibentuknya Peradilan Agama di Kalimantan.
Peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Hindia belanda sampai Indonesia merdeka masih tetap berlaku. Peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Staatsblad 1882 No. 152, yang menurut penetapan Raja Belanda untuk mengatur Peradilan Agama di Jawa dan Madura, penetapan ini telah diubah dan ditambah terutama dengan Staatsblad 1937 No. 116 dan Staatsblad 1937 No. 610.
  2. Staatsblad 1937 No. 638, dan 639 yang memuat ordonasi untuk mengatur Peradilan Agama di sebagian di Kalimantan Selatan (Noto Susanto, 1975: 27).
Setelah Indonesia merdeka maka dasar yuridis Peradilan Agama dikuatkan dengan beberapa Undang-undang dan beberapa peraturan pemerintah disamping dasar hukum yang telah dikuatkan dan disebutkan. Perundang-undangan inilah yang kemudian menunjukkan keberadaan Peradilan Agama secara eksis di Indonesia, masing-masing adalah:
  • Perundang-undangan dan peraturan;
  1. Dekrit Presiden.
  2. Aturan Presiden No. 2 Tanggal 10 Oktober 1945, segala bentuk badan-badan Negara masih berlaku selama belum ada perubahan dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
  3. Keputusan Pemerintah No. 1 Tahun 1946 tentang pembentukan Departemen Agama.
  4. Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talaq, dan rujuk.
  5. Undang-undang No. 22 Tahun 1952 peraturan tentang kemungkinan hilangnya surat putusan dan surat-suratpemeriksaan pengadilan.
  6. Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1946.
  7. Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok-pokok kehakiman. Kemudian dari Undang-undang inilah para pakar hukum mengatakan bahwa Peradilan Agama keberadaannya semakin kuat karena telah masukdalam Tata Hukum di Indonesia.
  8. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
  9. Undang-undang No. 14 Tahun 1975 tentang mahkamah Agung.
  10. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
  • Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yaitu PP No. 27 Tahun 1960 tentang uang honorarium dan juru sumpah.
  • Ketetapan Pemerintah.
  1. No. 1/1945 s/d Tahun 1946 tentang mengadakan Departemen Agama dan balai Pemuda yang menjadi Departemen Sosial.
  2. No. 5/1945 s/d Tahun 1946 tentang Mahkamah Islam Tinggi bagian Kementrian Kehakiman dipindahkan ke Menteri Agama (Abdul Gani Abdullah, 1991: 9).
  • Peraturan Pemerintah.
  1. No. 10 Tahun 1947 tentang sumpah jabatan Hakim, Jaksa, Panitera, dan Panitera Pengganti.
  2. No. 19 Tahun 1947 menambah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1947.
  3. No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk luar Jawa dan Madura, dan sebagian luar Kalimantan Selatan (Djamil Latif, 1983: 13).
  4. No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Perkawinan.
  5. No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
  6. No. 10 Tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
  7. No. 45 Tahun 1990 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983.
  • Keputusan Presiden
  1. No. 18 Tahun 1977 tentang tunjangan jabatan Hakim pada Peradilan Agama.
  2. No. 17 Tahun 1985 tentang Organisasi kepaniteraan atau Sekretariat Jendral Mahkamah Agung.
  • Peraturan Mahkamah Agung
  1. No. 1 Tahun 1980 tentang peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  2. No. 1 Tahun 1982 tentang Peraturan Mahkamah Agung.
  • Keputusan Bersama
    Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Agama RI, dan Menteri Kehakiman RI: KMA/010/SKB/II/1988 tentang tata cara bantuan tenaga Hakim untuk lingkungan Peradilan Agama dan latihan jabatan bagi Hakim serta Panitera Pengadilan Agama.
  • Keputusan Ketua Mahkamah Agung
    No. KMA/013/SK/III/1988 tentang pola pembinaan dan pengendalian administrasi perkara Peradilan Agama.
  • Peraturan Menteri Agama RI.
  1. No. 1 Tahun 1952 tentang Wali Hakim
  2. No. 4 Tahun 1952 tentang Wali Hakim untuk Jawa dan Madura
  3. No. 1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977
  • Penetapan Pemerintah
  1. No. 5 Tahun 1952 tentang Pembentukan Kembali Peradilan Agama Bangil
  2. No. 58 Tahun 1957 tentang Pembentukan Kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di Sumatra
  3. No. 4 Tahun 1958 tentang Pembentukan kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Kalimantan
  4. No. 5 Tahun 1958 tentang Pembentukan Kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat.
  5. No. 25 Tahun 1958 tentang Pembentukan cabang kantor Peradilan Agama/Mahkamah Syari’ah di Tanjung Karang untuk daerah Lampung Utara dan Kota Bumi.
  • Keputusan Menteri Agama RI

  1. No. 23 Tahun 1966 tentang pembentukan kantor Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah (Sumatra, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Maluku).
  2. No. 61 Tahun 1961 tentang pembentukan cabang kantor Peradilan Agama cabang Jawa dan Madura.
  3. No. 62 Tahun 1961 tentang pembentukan cabang kantor Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah untuk Aceh dan Padang.
  4. No. 85 Tahun 1961 tentang Pengakuan Badan Penasehat Perkawinan Penyelesaian Perceraian (BP4)
  5. No. B/IV/2/5593/1966 tentang peleburan badan Hakim syara’pada dewan Adat Maluku, Ternate kedalam Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah
  6. No. 87 Tahun 1966 tentang Penambahan Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah tingkat II Sulawesi dan Maluku.
  7. No. 4 Tahun 1967 tentang perubahan kantor-kantor Peradilan Agama untuk daerah khusus Jakarta (Abdul Gani Abdullah, 1991: 11).
sumber :  https://lawindonesia.wordpress.com/hukum-islam/peradilan-agama-dari-masa-ke-masa/

Jumat, 25 Maret 2016

Membuat daftar isi otomatis di MS Word 2007

Kini saya akan berbagi bagaimana agar membuat daftar isi otomatis sehingga menghemat waktu kerja anda dalam menulis suatu karya. Tapi sebelum memulai langkah kerjanya, saya akan jelaskan sedikit prinsip kerja pembuatan daftar isi otomatis.
Catatan : word yang saya gunakan adalah ms.word 2007 dan berbahasa Indonesia.
perhatikan gambar dibawah ini !!
image
Penjelasan :
Tajuk 1 (heading 1) dipakai untuk BAB
Tajuk 2 (heading 2) dipakai untuk Subbab.
Perhatikan daftar isi yang saya kolom merah.
Oke, langsung saja langkah-langkahnya :
1. siapkan file ms.word yang akan dibuat daftar isi
2. klik heading 1 untuk “BAB” dan heading 2 untuk “SUBBAB”. Selengkapnya perhatikan gambar dibawah ini.
image
catatan :
pada saat anda klik kiri, kemungkinan akan terjadi perubahan pada tulisan yang dikolom seperti bentuk font, size, color text, dan spasi. Solusinya anda tinggal perbaiki saja. Hal tersebut bisa terjadi karena pengaturan default pada masing-masing heading. Anda bisa mengubah pengaturan tersebut dengan mengklik kanan di “tajuk 1” lalu pilih “modifikasi”.
3. gunakan LANGKAH 2 pada bab dan subbab selanjutnya.
4. setelah LANGKAH 3 terselesaikan, anda bisa melihat reviewnya terlebih dahulu dengan cara. Klik “VIEW/TAMPILAN” lalu pilih “DOCUMENT MAP”. Selengkapnya bisa lihat gambar di bawah ini.
clip_image016
catatan :
Segala teks yang ada di document map merupakan isi yang akan tampil di daftar isi.
5. selanjutnya pilih “PREFERENCE/REFERENSI” lalu pilih “daftar isi/Table of content”. Selengkapnya dapat anda perhatikan pada gambar paling atas sebelum penjelasan langkah pembuatan.
6. pilih dan klik kiri “daftar isi/table of contentnya”.
7. Siapkan halaman kosong untuk meletakkan daftar isi dan selesai.
catatan :
– Anda dapat mengedit ulang untuk perbaikan jika terdapat kesalahan tanpa perlu mengulang langkah dari awal.
– masalah no. halaman, jika anda belum menggunakannya pada “header or Footer,maka daftar isi akan secara otomatis menggunakan no. hal dalam dokumen yang letaknya dapat anda lihat di pojok bawah kiri.
Selamat mencoba dan Semoga bermanfaat.
Senyum dengan mulut terbuka  

https://iwanpatra.wordpress.com/2016/03/13/membuat-daftar-isi-otomatis-di-ms-word-2007/

Rabu, 28 November 2012

ISTILAH ISTILAH HUKUM PIDANA

Istilah-istilah Hukum Perdata dan Pidana
Panitera = seseorang yang bertugas mencatat dan mengurusi urusan/berkas-berkas persidangan perceraian;
Ketua Hakim Pengadilan = seseorang yang memimpin/mengepalai lembaga Pengadilan;
Ketua Hakim Majelis = seseorang yang mengetuai para Hakim dalam suatu sidang;
Hakim Anggota = seseorang hakim yang menjadi Hakim anggota dalam satu kelompok majelis;
Penggugat = seseorang yang mengajukan gugatan di Pengadilan;
Tergugat = seseorang yang digugat di Pengadilan;
Pemohon = seseorang (suami) yang mengajukan permohonan ucap talaq pada istrinya di Pengadilan Agama;
Termohon = seseorang (istri) yang diajukan permohonan ucap talaq oleh suaminya;
Gugatan cerai/cerai gugat = berkas/surat permohonan =cerai yang diajukan oleh si istri;
Permohonan talaq = berkas/surat permohonan suami utk mengucapkan talaq agar dapat bercerai dengan istrinya;
Peninjauan Kembali (PK) = Upaya hukum setelah adanya putusan dari Pengadilan Tingkat Kasasi disertai dengan pendapat jika adanya kekhilafan hakim dalam penerapan suatu putusan atau adanya bukti-bukti baru/Novum yang belum pernah disampaikan dalam persidangan (tingkat pertama, banding maupun kasasi);
Jawaban = berkas/surat tanggapan dari si Tergugat/Termohon;
Replik = berkas/surat dari Penggugat/Pemohon tentang tanggapan dari adanya Jawaban Tergugat/Termohon;
Duplik = berkas/surat dari Tergugat/Termohon tentang tanggapan dari adanya Replik si Penggugat/Pemohon;
Sidang saksi/pembuktian = sidang dimana para pihak (Penggugat/Tergugat) memperlihatkan bukti-bukti dan membawa saksi-saksi untuk mendukung dan membuktikan dalil-dalil dalam surat/berkas proses perkaranya;
Kesimpulan = berkas/surat dari para pihak untuk menyimpulkan surat-surat berkas-berkas yang telah diserahkan pada pengadilan;
Posita = Dasar-dasar gugatan/fakta-fakta;
Petitum = permintaan/tuntutan yang diajukan oleh para pihak;
Hak pemeliharaan anak = adalah hak yang diperebutkan oleh para pihak untuk mendapatkan hak memelihara anaknya;
Harta gono-gini = adalah harta yang dihasilkan selama masa perkawinan;
Fiat Justitia Ruat Coelum = Sekalipun langit akan runtuh Hukum tetap ditegakkan;
Banding = Upaya hukum setelah adanya putusan dari Pengadilan Tingkat Pertama;
Kasasi = Upaya hukum setelah adanya putusan dari Pengadilan Tingkat Banding;
PMH = Perbuatan Melawan HUKUM;
Penyidik = pemeriksaan seseorang yang dilakukan baik di kepolisian maupun dikejaksaan (dalam perkara Pidana);
Eksepsi = Tanggapan terhadap sahnya sebuah gugatan (perkara Perdata) maupun dakwaan (perkara Pidana) yang berhubungan dengan kewenangan/kompetensi absolute dan relative serta identitas tergugat (perdata) maupun terdakwa (pidana)
Officium Nobile = Profesi mulia dan terhormat (advokat)
Pro deo = BantuaN hukum secara cuma-cuma/tidak dipungut biaya

ISTILAH DALAM BIDANG HUKUM PERDATA

A. Mengenai GUGATAN:
Ø       Gugatan_ tuntutan hak dalam sengketa.
(dalam hal khusus, tanpa sengketa dapat diajukan suatu gugatan).
Gugatan dapat dicabut dengan syarat bahwa pencabutan tersebut dilakukan penggugat secara sepihak, asalkan Tergugat belum menyampaikan jawaban.
______________________________
Ø       judex ne procedat ex officio – Hakim bersifat menunggu -  Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan/ hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya.
Ø       Gugatan tertulis ditegaskan dalam pasal 118 ayat (1) HIR/ Pasal 142 RBg.
Ø       Posita_ bagian dari gugatan (surat gugatan) yang memuat alasan-alasan berdasarkan keadaaan maupun hukum.
Ø       Petitum_ bagian dari gugatan yang memuat hal-hal yang diinginkan atau diminta penggugat.
Ø       force majeure – overmacht – keadaan memaksa – Keadaan di mana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak,keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.
Ø       Gugatan Voluntair
a.       diajukan secara sepihak
b.       masalah yang diajukan adalah bersifat kepentingan 1 (satu) pihak saja;
c.        tidak ada sengketa.
Ø       Actio in pauliana -Tuntutan hukum untuk pernyataan batal segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh pihak yang berhutang, yang menyebabkan penagih hutang dirugikan (pasal 1341 KUHPerdata).
Ø       NO-niet onvankelijkeverklaad_ (gugatan dinyatakan tidak dapat diterima) :
a.             Gugatan salah alamat (error in persona);
b.             Gugatan kabur dan tidak jelas (obscuur libel)
Ø droit de suite – Asas berdasarkan hak suatu kebendaan seseorang yang berhak terhadap benda itu mempunyai kekuasaan/wewenang untuk mempertahankan atau menggugat bendanya dari tangan siapapun juga atau dimanapun benda itu berada.
Ø       actual damages – Ganti rugi aktual – Kerugian yang benar-benar diderita secara aktual dan dapat dihitung dengan mudah sampai ke nilai rupiah.
Ø       punitive damages – Ganti rugi penghukuman – Suatu ganti rugi dalam jumlah besar yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya, ganti rugi itu dimaksudkan sebagai hukuman bagi si pelaku.
Ø       Class Action – Gugatan perwakilan -  Gugatan yang berupa hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar dalam upaya mengajukan tuntutan berdasarkan kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan ganti kerugian.
Ø       Restitusi – Suatu nilai tambah yang telah diterima oleh pihak yang melakukan wanprestasi, nilai mana terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak oleh pihak lain dari yang melakukan wanprestasi.
Ø       Upaya Hukum Luar Biasa:
1.       Kasasi
2.       Peninjauan Kembali (tidak ada batasan waktu)
3.       Derden Verzet
B. Mengenai Para Pihak :
v             Voeging _ masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang berlangsung dan menggabungkan diri dengan salah satu pihak dalam perkara.
v             Tussenkomst_ masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara tidak memihak kepada tergugat maupun penggugat untuk membela haknya sendiri.
v             Vrijwaring_ masuknya pihak ketiga karena ditarik pihak tergugat.
v             Intervensi_ campur tangan pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang berlangsung dan tidak memihak.
v             Verzet – Perlawanan
v             Deer den Verzet – Perlawanan Pihak Ketiga terhadap penetapan yang keliru yang merugikan kepentingan orang lain (merujuk secara analogi kpd Psl.378 Rv atau Psl.195 Ayat (6) HIR.
v             Judex Facti_ hakim tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi
C. Mengenai Sita :
                               
§          Maritaal beslaag – Sita maritaal – Penyitaan yang dilakukan untuk menjamin agar barang yang yang disita tidak dijual, untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga.
§          Pand Beslaag – Sita gadai – Sitaan yang menyangkut barang milik orang lain yang kebetulan si pailit sebagai pemegang gadai.
§          Revindicatoir Beslaag – Sita Barang Bergerak – Penyitaan yang diminta oleh pemilik barang bergerak yang barangnya
ada di tangan orang lain, diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang memegang barang tersebut tinggal.
§          Conservatoir Beslaag – Sita Jaminan terhadap obyek/Barang dikarenakan adanya dugaan bahwa sebelum putusan dijatuhkan, tergugat berupaya melarikan barang-barang miliknya (pasal 227 ayat 1 HIR).
§          Restitutie In Intergum – Pengembalian obyek sengketa kepada keadaan semula.
D. Mengenai Putusan :
o         Vrijspraak – Bebas dari segala dakwaan – Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim karena dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
o         Eksaminasi -  Ujian atau pemeriksaan terhadap putusan pengadilan/hakim.
o         Uit Voerbaar bij VooraadPutusan yang dapat dilaksanakan Terlebih Dahulu, meskipun pihak yang kalah mengajukan banding ataupun kasasi.
o         In Kracht Van Gewidjge – Putusan Yang telah berkekuatan hukum Tetap/pasti dan mempunyai daya eksekusi.
o         Putusan Contradictoir – Putusan atas bantahan, suatu putusan yang diambil setelah mendengarkan keterangan kedua belah pihak.
o         Provisionel Eis – Putusan Sela, putusan yang diambil oleh hakim sebelum menjatuhkan putusan akhir.
o         Putusan Condemnatoir – putusan yang bersifat penghukuman.
o         Putusan Declaratoir – Putusan yang menentukan sifat suatu keadaan  dengan tidak mengandung perintah kepada pihak untuk untuk berbuat ataupun tidak berbuat sesuatu.
o         Putusan Constitutief – Putusan yang melenyapkan suatu keadaan/situasi hukum.
o         Ne Bis In IdemTerhadap perkara yang sama tidak dapat diajukan dua kali pemeriksaan.
o         Eksekusi – Pelaksanaan Putusan.
o         Terstond – Dieksekusi segera.
o         Verstek – Putusan yang diambil diluar hadirnya Tergugat. (Apabila pihak tergugat tidak hadir dalam persidangan tanpa alasan yang sah, padahal sudah dipanggil oleh juru sita secara patut)
o         Verzet _ Perlawanan terhadap putusan Verstek (batas waktu 14 hari dari tanggal pemberitahuan Putusan Verstek)
o         In Der Minne – Pemenuhan putusan secara sukarela
o         Eksekusi – Pelaksanaan Putusan. Yang berwenang untuk melaksanakan (mengeksekusi) putusan yang berkekuatan hukum tetap ialah Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan dimana perkara tersebut diperiksa dan diputuskan.
o         Aequo et bono – Suatu istilah yang terdapat pada akhir dokumen hukum dalam peradilan, baik perdata maupun pidana yang prinsipnya menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim pemeriksa perkara. Arti harfiahnya : apabila hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.
o         in dubio pro reo – Dalam keadaan yang meragukan, hakim harus mengambil keputusan yang menguntungkan terdakwa.
o         Res judikata proveretate habituur_ putusan hakim harus dihormati dan dilaksanakan walaupun salah.
E. Mengenai Barang Bukti :
§          Alat bukti dalam KUHPerdata Pasal 1866 :
1.       Bukti tertulis
2.       Bukti saksi
3.       Persangkaan
4.       Pengakuan
5.       Sumpah
§          Testimonium de auditu_ keterangan yang saksi peroleh dari pihak lain.
§          Akta Otentik adalah:
a.       akta yang dibuat oleh pegawai umum yg berwenang;
b.       akta yang dibuat dihadapan pegawai umum yg berwenang;
c.        akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
(Pasal 1868 KUHPerdata)

copas dari : http://ikyndx.blogspot.com

Itilah Dalam Persidangan






  • Eksepsi merupakan sanggahan/keberatan-keberatan terdakwa atau penasehat hukum terdakwa terhadap surat dakwaan tetapi belum menyangkut pokok perkara.
  • Replik adalah tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum terhadap isi dari Eksepsi terdakwa/penasehat hukum terdakwa.
  • Duplik adalah tanggapan dari terdakwa atau penasehat hukum terdakwa terhadap isi dari dakwaan.
  • Amar atau diktum yaitu isi dari putusan pengadilan.
  • Eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang harus dilaksanakan oleh terpidana (kasus pidana) tergugat (kasus perdata).
  • Juncto diartikan "dihubungankan/dikaitkan" dapat berupa undang-undang, pasal, ketentuan-ketentuan yang satu dengan undang-undang, pasal, ketentuan-ketentuan yang lainnya dan biasanya disingkat dengan "jo".
  •  Posita adalah dasar atau dalil atau alasan gugatan untuk menuntut hak dan kerugian seseorang melalui pengadilan
  •  Petitum yaitu tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrechting (main hakim sendiri)
  • Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan.